TUGAS PENYUSUNAN MAKALAH
SOFTSKILL
Penerapan Sistem Matrilineal dalam Adat Minangkabau di Tengah Moderenisasi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS GUNADARMA
Disusun Oleh :
3 PA 01
NO | NAMA Mahasiswa | NPM | TUGAS | |
1 | Kartika Rachmada | 10509511 | Interviewer | |
2 | M. Imron Muflikhin | 15509070 | observer | |
3 | Nadia Alifazuhri M | 10509502 | Interviewer | |
4 | Pungkas Anugrahutami | 13509082 | Editing | |
5 | Resya Buari Dwi W | 10509068 | Compiler Proposal | |
6 | Sefany Debtriane | 14509894 | Observer |
|
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya kami masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan salah satu tugas menyususn makalah sebagai pemenuhan mata kuliah yang bermuatan soft skill. Tidak lupa kami ucapkan kepada dosen pengajar dan teman-teman yang telah memberikan dukungan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar di kemudian hari kami dapat memperbaiki lagi pada makalah yang berikut nya .Semoga apa yang berada di dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman serta menambah inspirasi juga pengetahuan.
Bab I
Pendahuluan
Sebagai makhluk sosial, kita selalu berinteraksi dengan orang lain. Situasi tersebut menciptakan sebuah kelompok, baik kelompok kecil ataupun besar. Dan sebagai makhluk sosial tersebut mereka berangkat dari berbagai macam kebudayaan dan hal itu pula yang menjadi ciri khas dari masyarakat masing-masing daerah tersebut. Disini penulis akan menyajikan sedikit tentang kebudayaan masyarakat Sumatra Barat dengan melihat Penerapan Sistem Matrilineal dalam Adat Minangkabau di Tengah Moderenisasi. Minangkabau atau lebih singkatnya Minang adalah kelompok etnik Nusantara yang berbahasa dan menjunjung adat Minangkabau. Wilayah penganut kebudayaannya meliputi Sumatera Barat, separuh daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, bagian selatan Sumatera Utara, barat daya Aceh, dan juga Negeri Sembilan di Malaysia. Dalam percakapan awam, orang Minang seringkali disamakan sebagai orang
Menurut A.A. Navis, Minangkabau lebih kepada kultur etnis dari suatu rumpun Melayu yang tumbuh dan besar karena sistem monarki, serta menganut sistem adat yang khas, yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur perempuan atau matrilineal, walaupun budayanya juga sangat kuat diwarnai ajaran agama Islam, sedangkan Thomas Stamford Raffles, setelah melakukan ekspedisi ke pedalaman Minangkabau tempat kedudukan Kerajaan Pagaruyung, menyatakan bahwa Minangkabau adalah sumber kekuatan dan asal bangsa Melayu, yang kemudian penduduknya tersebar luas di Kepulauan Timur.
Saat ini masyarakat Minang merupakan masyarakat penganut matrilineal terbesar di dunia. Selain itu, etnik ini juga telah menerapkan sistem proto-demokrasi sejak masa pra-Hindu dengan adanya kerapatan adat untuk menentukan hal-hal penting dan permasalahan hukum. Prinsip adat Minangkabau tertuang singkat dalam pernyataan Adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Al-Qur'an) yang berarti adat berlandaskan ajaran Islam.
Orang Minangkabau sangat menonjol di bidang perniagaan, sebagai profesional dan intelektual. Mereka merupakan pewaris terhormat dari tradisi tua Kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang gemar berdagang dan dinamis. Hampir separuh jumlah keseluruhan anggota masyarakat ini berada dalam perantauan. Minang perantauan pada umumnya bermukim di kota-kota besar, seperti
Bab II
Pembahasan
A. Etimologis Sumatra Barat
Peta yang menunjukan wilayah persebaran kelompok etnik Minangkabau di pulau Sumatera. Nama Minangkabau berasal dari dua kata, minang dan kabau. Nama itu dikaitkan dengan suatu legenda khas Minang yang dikenal di dalam tambo. Dari tambo tersebut, konon pada suatu masa ada satu kerajaan asing (biasa ditafsirkan sebagai Majapahit yang datang dari laut akan melakukan penaklukan. Untuk mencegah pertempuran, masyarakat setempat mengusulkan untuk mengadu kerbau. Pasukan asing tersebut menyetujui dan menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif, sedangkan masyarakat setempat menyediakan seekor anak kerbau yang lapar dengan diberikan pisau pada tanduknya. Dalam pertempuran, anak kerbau yang lapar itu menyangka kerbau besar tersebut adalah induknya. Maka anak kerbau itu langsung berlari mencari susu dan menanduk hingga mencabik-cabik perut kerbau besar tersebut. Kemenangan itu menginspirasikan masyarakat setempat memakai nama Minangkabau, yang berasal dari ucapan 'Manang kabau' (artinya menang kerbau). Kisah tambo ini juga dijumpai dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan juga menyebutkan bahwa kemenangan itu menjadikan negeri yang sebelumnya bernama Periaman (Pariaman) menggunakan nama tersebut. Selanjutnya penggunaan nama Minangkabau juga digunakan untuk menyebut sebuah nagari, yaitu Nagari Minangkabau, yang terletak di kecamatan Sungayang, kabupaten Tanah Datar, provinsi Sumatera Barat.
Dalam catatan sejarah kerajaan Majapahit, Nagarakretagama tahun 1365 M, juga telah ada menyebutkan nama Minangkabwa sebagai salah satu dari negeri Melayu yang ditaklukannya. Sedangkan nama "Minang" (kerajaan Minanga) itu sendiri juga telah disebutkan dalam Prasasti Kedukan Bukit tahun 682 Masehi dan berbahasa Sansekerta. Dalam prasasti itu dinyatakan bahwa pendiri kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang bertolak dari "Minānga" .... Beberapa ahli yang merujuk dari sumber prasasti itu menduga, kata baris ke-4 (...minānga) dan ke-5 (tāmvan....) sebenarnya tergabung, sehingga menjadi mināngatāmvan dan diterjemahkan dengan makna sungai kembar. Sungai kembar yang dimaksud diduga menunjuk kepada pertemuan (temu) dua sumber aliran Sungai Kampar, yaitu Sungai Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan. Namun pendapat ini dibantah oleh Casparis, yang membuktikan bahwa "tāmvan" tidak ada hubungannya dengan "temu", karena kata temu dan muara juga dijumpai pada prasasti-prasasti peninggalan zaman Sriwijaya yang lainnya. Oleh karena itu kata Minanga berdiri sendiri dan identik dengan penyebutan Minang itu sendiri.
B. Adat Dan Budaya
Menurut tambo, sistem adat Minangkabau pertama kali dicetuskan oleh dua orang bersaudara, Datuk Perpatih Nan Sebatang dan Datuk Ketumanggungan. Datuk Perpatih mewariskan sistem adat Bodi Caniago yang demokratis, sedangkan Datuk Ketumanggungan mewariskan sistem adat Koto Piliang yang aristokratis. Dalam perjalanannya, dua sistem adat yang dikenal dengan kelarasan ini saling isi mengisi dan membentuk sistem masyarakat Minangkabau.
Dalam masyarakat Minangkabau, ada tiga pilar yang membangun dan menjaga keutuhan budaya serta adat istiadat. Mereka adalah alim ulama, cerdik pandai, dan ninik mamak, yang dikenal dengan istilah Tali nan Tigo Sapilin. Ketiganya saling melengkapi dan bahu membahu dalam posisi yang sama tingginya. Dalam masyarakat Minangkabau yang demokratis dan egaliter, semua urusan masyarakat dimusyawarahkan oleh ketiga unsur itu secara mufakat.
1) . Matrilineal
Matrilineal merupakan salah satu aspek utama dalam mendefinisikan identitas masyarakat Minang. Adat dan budaya mereka menempatkan pihak perempuan bertindak sebagai pewaris harta pusaka dan kekerabatan. Garis keturunan dirujuk kepada ibu yang dikenal dengan Samande (se-ibu). Sedangkan ayah mereka disebut oleh masyarakat dengan nama Sumando (ipar) dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga.
Kaum perempuan di Minangkabau memiliki kedudukan yang istimewa sehingga dijuluki dengan Bundo Kanduang, memainkan peranan dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan keputusan-keputusan yang dibuat oleh kaum lelaki dalam posisi mereka sebagai mamak (paman atau saudara dari pihak ibu), dan penghulu (kepala suku). Pengaruh yang besar tersebut menjadikan perempuan Minang disimbolkan sebagai Limpapeh Rumah nan Gadang (pilar utama rumah).Walau kekuasaan sangat dipengaruhi oleh penguasaan terhadap aset ekonomi namun kaum lelaki dari keluarga pihak perempuan tersebut masih tetap memegang otoritas atau memiliki legitimasi kekuasaan pada komunitasnya.
Matrilineal tetap dipertahankan masyarakat Minangkabau sampai sekarang walau hanya diajarkan secara turun temurun dan tidak ada sanksi adat yang diberikan kepada yang tidak menjalankan sistem kekerabatan tersebut. Pada setiap individu Minang misalnya, memiliki kecenderungan untuk menyerahkan harta pusaka yang seharusnya dibagi kepada setiap anak menurut hukum faraidh dalam Islam hanya kepada anak perempuannya. Anak perempuan itu nanti menyerahkan pula kepada anak perempuannya pula. Begitu seterusnya. Sehingga Tsuyoshi Kato dalam disertasinya menyebutkan bahwa sistem matrilineal akan semakin menguat dalam diri orang-orang Minangkabau walau mereka telah menetap di kota-kota di luar Minang sekalipun dan mulai mengenal sistem Patrilineal.
2). Bahasa
Bahasa Minangkabau merupakan salah satu anak cabang bahasa Austronesia. Walaupun ada perbedaan pendapat mengenai hubungan bahasa Minangkabau dengan bahasa Melayu, ada yang menganggap bahasa yang dituturkan masyarakat ini sebagai bagian dari dialek Melayu, karena banyaknya kesamaan kosakata dan bentuk tuturan di dalamnya, sementara yang lain justru beranggapan bahasa ini merupakan bahasa mandiri yang berbeda dengan Melayu serta ada juga yang menyebut bahasa Minangkabau merupakan bahasa proto-Melayu. Selain itu dalam masyarakat penutur bahasa Minang itu sendiri juga sudah terdapat berbagai macam dialek bergantung kepada daerahnya masing-masing.
Pengaruh bahasa lain yang diserap ke dalam Bahasa Minang umumnya dari Sanskerta, Arab, Tamil, dan Persia. Kemudian kosakata Sanskerta dan Tamil yang dijumpai pada beberapa prasasti di Minangkabau telah ditulis menggunakan bermacam aksara di antaranya Dewanagari, Pallawa, dan Kawi. Menguatnya Islam yang diterima secara luas juga mendorong masyarakatnya menggunakan Abjad Jawi dalam penulisan sebelum berganti dengan Alfabet Latin.
3). Kesenian
Sebuah pertunjukan kesenian talempong, salah satu alat musik pukul tradisional Minangkabau. Masyarakat Minangkabau memiliki berbagai macam atraksi dan kesenian, seperti tari-tarian yang biasa ditampilkan dalam pesta adat maupun perkawinan. Di antara tari-tarian tersebut misalnya tari pasambahan merupakan tarian yang dimainkan bermaksud sebagai ucapan selamat datang ataupun ungkapan rasa hormat kepada tamu istimewa yang baru saja sampai, selanjutnya tari piring merupakan bentuk tarian dengan gerak cepat dari para penarinya sambil memegang piring pada telapak tangan masing-masing, yang diiringi dengan lagu yang dimainkan oleh talempong dan saluang.
Silek atau Silat Minangkabau merupakan suatu seni bela diri tradisional khas suku ini yang sudah berkembang sejak lama. Selain itu, adapula tarian yang bercampur dengan silek yang disebut dengan randai. Randai biasa diiringi dengan nyanyian atau disebut juga dengan sijobang,dalam randai ini juga terdapat seni peran (acting) berdasarkan skenario. Di samping itu, Minangkabau juga menonjol dalam seni berkata-kata.
Bab III
FENOMENA DI MASYARAKAT
- Matrilineal
Matrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ibu. Kata ini seringkali disamakan dengan matriarkhat atau matriarkhi, meskipun pada dasarnya artinya berbeda. Matrilineal berasal dari dua kata, yaitu mater (bahasa Latin) yang berarti "ibu", dan linea (bahasa Latin) yang berarti "garis". Jadi, "matrilineal" berarti mengikuti "garis keturunan yang ditarik dari pihak ibu". Sementara itu matriarkhat berasal dari dua kata yang lain, yaitu mater yang berarti "ibu" dan archein (bahasa Yunani) yang berarti "memerintah". Jadi, "matriarkhi" berarti "kekuasaan berada di tangan ibu atau pihak perempuan".
Suku, atau matriclan, ialah unit utama dari struktur sosial Minangkabau dan seseorang tidak dapat dipandang sebagai orang Minangkabau kalau dia tidak mempunyai suku. Suku sifatnya exogamis, kecuali bila tidak dapat diselusuri lagi hubungan keluarga antara dua buah suku yang senama tetapi terdapat di kampung yang berlainan. Oleh karena orang dari suku yang sama biasanya menempati lokasi yang sama, suku bisa berarti genealogis maupun territorial, sedangkan kampuang tanpa dikaitkan ke salah satu suku tertentu hanya mengandung arti territorial semata-mata.
Tiap suku minang biasanya terdiri dari beberapa paruik dan dikepalai oleh kapalo paruik atau tungganai. Paruik dapat dibagi lagi ke dalam jurai dan jurai terbagi pula ke dalam samande (artinya “satu ibu”). Cara pembagian suku di Minangkabau seperti demikian bisa berbeda dari satu daerah ke daerah yang lain. Jurai adalah istilah yang kabur yang mungkin menunjukkan persamaan consanguinealitas saja atau pertalian kelompok di bawah atau di atas tingkatan paruik. Samande, sebaliknya, sukar dipandang sebagai unit yang berdiri sendiri oleh karena dua atau tiga samande bisa sama mendiami rumah yang satu dan sama memiliki harta benda tidak bergerak lainnya; sedangkan segala hal-ihwal yang penting dalam lingkaran hidup (life cycle) tidak dapat diselesaikan oleh anggota-anggota dari samande yang sama (yang biasanya berpusat sekeliling seorang nenek) saja, tetapi harus disampaikan kepada paruik.
Anggota dari paruik yang sama biasanya memiliki harta bersama (harato pusako), seperti tanah bersama, termasuk sawah-ladang, rumah gadang dan pandam pekuburan bersama. Oleh karena ‘paruik’ berkembang, ia mungkin memecah diri menjadi dua paruik atau lebih, sekalipun masih dalam suku yang satu. Dan dengan berkembangnya suku ia mungkin pula terbagi ke dalam dua atau lebih suku baru yang bertalian.
Dalam sistem keturunan matrilineal/matriahat di Minangkabau ini, ayah bukanlah anggota dari garis keturunan anak-anaknya. Dia dipandang tamu dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga, yang tujuannya terutama untuk memberi keturunan. Dia disebut samando atau urang samando. Tempatnya yang sah adalah dalam garis keturunan ibunya di mana dia berfungsi sebagai anggota keluarga laki-laki dalam garis-keturunan itu. Secara tradisi, setidak-tidaknya, tanggung jawabnya berada di situ. Dia adalah wali dari garis-keturunannya dan pelindung atas harta benda garis keturunan itu sekalipun dia harus menahan dirinya dari menikmati hasil tanah kaumnya oleh karena dia tidak dapat menuntut bagian apa-apa untuk dirinya. Tidak pula dia diberi tempat di rumah orangtuanya (garis ibu/matrilineal) oleb karena semua bilik hanya diperuntukkan bagi anggota keluarga yang perempuan, yakni untuk menerima suami-suami mereka di malam hari. Posisi kaum laki-laki yang goyah ini yang memotivasi lelaki Minang untuk merantau.
Orang laki-laki biasanya mencari nafkah dengan cara pergi ke pasar menjadi pedagang, atau bekerja sebagai tukang kayu, tukang bajak di sawah, penjahit, pemilik kedai, pegawai kantor, dan sebagainya. Dia bekerja di sawah ladang milik garis-keturunannya atau milik garis-keturunan isterinya hanyalah sambil lalu, jika tidak ada yang lain yang akan dikerjakannya. Kalau dia memutuskan hendak mengolah tanah dari garis keturunan ibunya untuk mendapatkan sebagian hasilnya, dia biasanya berbuat begitu sebagai seorang penyedua (pekerja bagi hasil), di mana dia menerima hanya sebagian dari hasil, sedangkan bagian yang lain diperuntukkan kepada anggota garis-keturunan wanita yang sebenarnya menjadi pemilik dari tanah tersebut.
Perkawinan, oleh karena itu, tidaklah menciptakan keluarga inti (nuclear family) yang baru, sebab suami atau isteri masing-masingnya tetap menjadi anggota dari garis keturunan mereka masing-masing. Sebab itu pengertian tentang keluarga inti yang terdiri dari ibu, ayah dan anak-anak sebagai suatu unit tersendiri tidak terdapat dalam struktur sosial Minangkabau oleh karena dia selalu ternaung oleh sistem garis keturunan ibu yang lebih kuat. Sebagai akibatnya, anak-anak dihitung sebagai anggota garis keturunan ibu dan selalu lebih banyak melekatkan diri kepada sang ibu serta anggota-anggota lainnya dalam garis keturunan itu. Ikatan yang lemah terhadap si ayah ini bahkan lebih jelas terlihat apabila si lelaki berpoligami, di mana dia bergilir mengunjungi istrinya, dan lebih jarang bertemu dengan anak-anaknya. Ikatan itu tambah berkurang lagi bila perceraian terjadi, dalam keadaan mana dia jarang sekali bertemu dengan anak-anaknya.
Matrilineal merupakan salah satu aspek utama dalam mendefinisikan identitas masyarakat Minang. Adat dan budaya mereka menempatkan pihak perempuan bertindak sebagai pewaris harta pusaka dan kekerabatan. Garis keturunan dirujuk kepada ibu yang dikenal dengan Samande (se-ibu). Sedangkan ayah mereka disebut oleh masyarakat dengan nama Sumando (ipar) dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga.
Kaum perempuan di Minangkabau memiliki kedudukan yang istimewa sehingga dijuluki dengan Bundo Kanduang, memainkan peranan dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan keputusan-keputusan yang dibuat oleh kaum lelaki dalam posisi mereka sebagai mamak (paman atau saudara dari pihak ibu), dan penghulu (kepala suku). Pengaruh yang besar tersebut menjadikan perempuan Minang disimbolkan sebagai Limpapeh Rumah nan Gadang (pilar utama rumah).Walau kekuasaan sangat dipengaruhi oleh penguasaan terhadap aset ekonomi namun kaum lelaki dari keluarga pihak perempuan tersebut masih tetap memegang otoritas atau memiliki legitimasi kekuasaan pada komunitasnya.
PEDOMAN WAWANCARA |
I. Subjek
A. Identitas Subjek
Nama (inisial) :
Jenis Kelamin :
Tempat Tanggal Lahir :
Usia :
Agama :
Anak ke : dari :
Suku bangsa :
Pendidikan :
Pekerjaan :
Alamat :
B. Daftar Pertanyaan
1) Apakah Anda mengetahui tentang budaya di tanah kelahiran Anda?
2) Apakah Anda mengetahui tentang budaya Matrilineal ?
3) Bagaimana Anda mempelajari tentang Budaya Ditanah Kelahiran Anda?
4) Mengapa Anda mempelajari tentang Budaya Matrilineal tersebut ?
5) Apakah yang Anda ketahui tentang julukan “Bundo Kanduang” untung perempuan keturunan Minang ?
6) Bagaimana Peran perempuan Minang dalam mengambil keputusan dalam keluarga?
7) Apakah Didalam Budaya Matrilineal, Aset ekonomi keluarga termaksud salah satu yang diserahkan kepada anak perempuan?
8) Bagaimana sistem tersebut diterapkan dijaman modern ini ?
9) Apakah keluarga Anda masih menganut Budaya Matrilineal ?
10) Bagaimana Sikap Anda sebagai Generasa muda terhadap BUdaya Matrilineal tersebut ?
11) Mengapa Anda masih menjalankan Budaya tersebut ?
12) Apakah kalian akan menerapkan budaya tersebut kepada keturunan kalian nantinya ?
13) Bagaimana pelajaran tentang budaya diterapakan dalam keluarga kalian?
14) Bagaimana seharusnya sikap pemuda di jaman ini dalam menyikapi budaya tanah kelahirannya, menurut kalian?
A. Tahap Pelaksanaan
1. Tahap Perjanjian : Interviewer telah menghubungi subjek dan meminta persetujuan untuk melakukan wawancara pada tanggal 2 Desember 2011. Dikarenakan kegiatan Subjek maka Subjek baru bisa menyanggupi wawancara pada tanggal 10 Desember 2011. Tempat pertemuan ditentukan satu hari sebelum tanggal pertemuan, Subjek meminta wawancara dilakuakn disalah satu pusat perbelanjaan di daerah depok. Tempat tersdebut dipilih subjek karena dekat dengan kampusnya dan aksesnya mudah.
2. Tahap Pelaksanaan : wawancara dilaksanakan pada hari Sabtu 10 Desember 2011 pada pukul 19:00 disebuah Pusat perbelanjaan didaerah Depok. Wawancara berlangsung lancar selama 20 menit, Subjek sangat kooperatif saat menjawab juga Subjek memiliki pengetahuan yang luas sehingga pertanyaan yang diajukanpun cepat mendapatkan jawaban yang tepat dan memuaskan. Wawancara selesai pada pukul 19:30 menit.
3. Tahap Akhir : setelah selesai melakukan wawancara dengan subjek, rekaman wawancara segera dipindahkan kedalam file dan dibuat verbatim sebagai hasil wawancara subjek tersebut.
HASIL WAWANCARA (VERBATIM) |
I. Identitas Subjek 1
Nama (inisial) : YEP
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat Tanggal Lahir : 15 Mei 1991
Usia : 20
Agama : Islam
Anak ke : dari : 1 dari 2 bersaudara
Suku bangsa : Minang Kabau – Sumatra Barat
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Mahasiswi - Karyawati
Alamat : Tebet
II. Identitas Subjek 2
Nama (inisial) : DB
Jenis Kelamin : Laki - Laki
Tempat Tanggal Lahir : 27 Agustus 1991
Usia : 20
Agama : Islam
Anak ke : dari : 1 dari 2 bersaudara
Suku bangsa : Minang Kabau – Sumatra Barat
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Mahasiswa – Karyawan
Alamat : Bintaro
A. Hasil Wawancara Subjek
Interviewer : nama lengkap kamu siapa?
Interviewee 1 : yani ekomudya putrid
Interviewee2 : Dional Bagaskara
Interviewer : kan denger-denger asli dari padang ya?
Interviewee 1 : iya, asli banget
Interviewer : lahir disana?
Interviewee 1 : iya
Interviewer : boleh tau enggak, latar belakangnya dulu deh, berapa bersaudara dirumah?
Interviewee 1 : 2 (dua)
Interviewer : 2 (dua) bersaudara, adik atau kakak?
Interviewee 1 : adik
Interwiewer : adik ya, adiknya itu perempuan atau laki-laki?
Interviewee 1 : laki-laki
Interviewer : gini jadi mau nanya-nanya tentang budaya budayanya, mau tau aja anak-anak muda jaman sekarang masih tau enggak budayanya.
Interviewee 1 : budaya dari sana? Kalo diruang lingkup Sumatera barat sih pasti tau. Mmm, soalnyakan disetiap sekolah masih ada pelajarannya BAM, Bumi Alam Minangkabau.
Interviewer : aku pernah dapat informasi kalo disana itu budayanya Matrilineal ya? Jadi keturunannya diperempuan, itu tau?
Interviewee 1 : Iya tau, itu juga dipelajarin semua. Gini deh, contohnya kalo misalnya kawin ikutin sukunya ibu.
Interviewer : oh gitu, terus di adat Matrilineal perempuan dipadang dapat julukan Bundo Kanduang. Itu kenapa sih, artinya apa?
Interviewee 1 : mmm itu artinya ya Bundo Kanduang itu gini loh didalam sebuah, sama di Indonesia deh ibu kandung, karena di Minang Kabau itu Matrilineal jadi disuatu rumah itu jadi yang ditua’in, jadi dia jadi Bundo Kanduang, tapi bukan pemimpin sih sebenernya.
Interviewer : jadi kalo misalnya, itu katanya perempuan disana, perempuan paling berperan dalam mengambil keputusan , harus diputusinnya sama perempuan dibanding laki-laki
Interviewee 1 : iya bener
Interviewee 2 : karena kan kalau orang padang itu kan dia punya semboyan ya bukan semboyan sih tapi slogan, ‘Adat Basandi Syarak,Syarak Basandi Kitabullah’ , itu artinya itu adat merujuk dari agama dan agama berpanuta dari kitabnya Allah, Al-Qur’an. Nah di Al-Qur’an itu sendiri dibilang bahwa surga dibawah telapak kaki ibu, jadi alangkah sangat baiknya juga kalau kita mengambil keputusan itu dari keputusan seorang ibu
Interviewer : oh gitu, terus nih kalo dipadang itu katanya denger-denger cari-cari informasi kalau namanya aset ekonomi kayak harta pusaka gitu itu nanti diturunkannnya ke perempuan.
Interviewee 2 : iya
Interviewer : sampe sekarang masih enggak sih?
Interviewee 2 : Tergantung, kalau mereka yang sudah menerima modernisasi ya mereka udah mengikuti tren orang-orang sekarang ya kan apalagi dengan banyaknya kasus-kasus selebriti yang dimuat ke media kalo yang namanya harta bersama itu ada pembagiaannya sendiri - sendiri tapi kalo orang yang berpanutan pada adatnya orang padang ya dimana-mana tiap ada kematian ya harta itu udah otomatis dgn perempuan knp bisa kaya gitu karna kalo laki-laki itu mereka bisa bertanggung jawab atas diri mereka sendiri, sedangkan perempuan lebih riskan untuk mencari nafkah diluaran sana
Interviewer : Hebat-hebat hebat hehe hebat-hebat. Jadi kalau dikeluarga nya masing – masing nih masih dipake enggak adat itu?
Interviewee 2 : saya masih
Interviewee 1 : masih masih dipake
Interbiewer : jadi kalo misalnya yang udah terpengaruh modernisasi udah jarang tapi kalo yang masih di adat itu masih dipake, kalo dipadang nya sendiri sana tuh kebanyakan masih di pake atau udah ikut modernisasi sih?
Interviewee 1 : kebanyakan, kalo lebih banyak sih masih 80% lah yang masih pake adat istiadat, paling 50% gitu
Interviewer : kalo sebagai kalian yang pemuda masa kini yang lahir dijaman sekarang ikut modernisasi masih nerima enggak sih adat itu atau dari diri sendiri masih ngikutin gitu atau ah udah ah enggak mau
Interviwee 1 : masih soalnya kan gimana ya, ya karna dari kita sih udah belajar juga jadi udah tau baik buruknya positif negatifnya ya lebih banyak positifnya sih jadi masih
Interviewer : oiya
Interviewee 2 : kalo mengenai harta pusaka itu sih ya kayanya harusnya sampe nanti kebelakangnya sih harusnya seperti itu, gitu karna apa yang tadi dibilang kalo laki-laki bisa tanggung jawab diri sendiri kalo perempuan kan susah
Interviewer : jadi kalo kalian masih nerima ya adatnya masih di ikutin, kalo ke keturunan gimana? Misalnya uidah nikah gitu
Interviewee 2 : aduh
Interviewee 1 : ya tapi tergantung nantinya gimana maksudnya gak mungkin juga nanti jodohnya satu apa, kalo dia sih udah pasti dijodohin sama orang padangkan, kalo aku sih pasti adatnya gitu
Interviewee 2 : kalo dari padang itu kan biasanya ngikutin perempuan kan, nah kalo perempuannya padang ya laki-laki padang ya mereka otomatis ikutin perempuannya itu adatnya
Interviewer : oh gitu
Interviewee 2 : go girsl! Hehehe
Interviewer : jadi disana girl power lah pokoknya ya, terus kalo dari keluarga sendiri yang paling diajarin dari adat itu yg paling ditekanin ke kalian itu apa sih?
Interviewee 1 : Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah
Interviewer : Coba-coba ulang biar jelas
Interviewee 1 : Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah
Interviewer : Artinya?
Interviewee 1 : jadi adatnya itu ada apaya ada aturannya yang aturannya itu mengacu pada kitab Al-Quran gitu
Interviewer : terkahir deh nih terakhir biar ga lama-lama, untuk kalian itu ke pemuda-pemuda yang sekarang mau kalian gimana sih mereka tuh harus ngikutin adat itu atau terserah mereka aja atau gimana pendapat kalian?
Interviewee 1 : mmm ya pasti eee teteplah kita harus tetep apa namanya melestarikan menghargai adat itu, adat yg ada dimana pun kita berada, ya Cuma kita enggak menutup diri dari dunia luar tetep ada modernisasi tapi nilai-nilai budayanya enggak sampe hilang lah gitu
Interviewer : okeey, wah aku seneng ngbrol sama semuanya dapet ilmu baru ketemu orang-orang yangg masih ngembangin budayanya
Interviewee 1 : Lebay hehe
Interviewer : Ketemu sama orang yang hebat, makasi udah bantuin ya makasii.
Intervewee 1 dan Interviewee2 : Okeeyy (bersamaan)
KESIMPULAN
Ditengah masa moderenisasi ini budaya dari tanah kelahiran sering kali dilupakanb oleh generasi – generasi masa kini, terutama remaja – remaja. Sering kali budaya asli mereka yang seharusnya dilestarikan mal;ah dianggap kuno dan tidak modern sehingga mereka tidak mau bahkan untuk sekedar mengenalnya. Diantara banyaknya Budaya Indonesia yang hampir Mati, masih ada satu budaya dari Tanah Minang Kabau yang masih mengakar dan terpatri dijiwa setiap masyarakatnya, termaksud Generasi Muda.
Matrilineal adalah Budaya dari tanah Minang yang masih terjaga sampai saat ini, ditegeah maraknya demam moderenisasi dan masuknya budaya Patrelinial, budaya Matrilineal yang mengagungkan kaum Wanita ini masih dijaga kelesatriannya oleh keturunan – keturunan Minang.
Dari hasil wawancara yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa Budaya Matrilineal masih sangat terjaga kelestariannya, dan bahwa para keturunan suku minang menerima dengan baik budaya ini dan menganggapnya sebagai budaya yang positif dan banyak memebrikan manfaat. Subjek DB sebagai seorang Putra Minang, memandang Budaya Matrilineal adalah budaya yang positif walaupun dikeluarganya yang menerapkan budaya ini mengedepankan kaum perempuan, sebagai Pria DB merasa itu bukan hal yang harus diubah karena memang seharusnya Perempuan dijaga dan dimuliakan.
Sebagai generasi muda yang hidup ditengah gemerlapnya moderenisasi kedua Subjek menunjukan sikap yang sangat Pro terhadap Budaya tanah kelahiran mereka, bahkan mereka berencana untuk tetap menanamkan pesan luhur budaya tersebut kepada keturunan mereka nantinya. Mereka juga mengajak generasi muda lainnya untuk sellau melestarikan Budaya kita yang sangat beragam ini dan berpendapat bahwa seharusnya kaum muda bisa memandang Budaya tersebut dari sisi yang positif.
Lampiran
Lampiran : Foto Observasi
Tempat : Anjungan Sumatera Barat – Taman Mini Indonesia Indah
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.2000.http://www.pelaminanminang.com/adat-minangkabau/matrilineal.html
Anonim.2000.Matrilineal - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Anonim.2000.id.wikipedia.org/wiki/Matrilineal